PERAN PROFESI DALAM UPAYA PENGOBATAN
Peran
Dokter dalam Pengobatan
Dokter bertanggung
jawab terhadap diagnosis dan terapi. Obat harus dipesan dengan menulis resep.
Bila ragu tentang isi resep atau tidak terbaca, baik oleh perawat maupun
apoteker, penulis resep itu harus dihubungi untuk penjelasan.
Peran
Apoteker dalam Pengobatan
Apoteker secara resmi
bertanggung jawab atas pasokan dan distribusi obat.selain itu apoteker
bertanggung jawab atas pembuatan sejumlah besar produk farmasi seperti larutan
antiseptik, dan lain-lain.
Peran penting lainnya
adalah sebagai narasumber informasi obat. Apoteker bekerja sebagai konsultan
spesialis untuk profesi kedokteran, dan dapat memberi nasehat kepada staf
keperawatan dan profesi kesehatan lain mengenai semua aspek penggunaan obat,
dan memberi konsultasi kepada pasien tentang obatnya bila diminta.
Peran
Perawat dalam Pemberian Obat
Karena obat dapat
menyembuhkan atau merugikan pasien, maka pemberian obat menjadi salah satu
tugas perawat yang paling penting. Perawat adalah mata rantai terakhir dalam
proses pemberian obat kepada pasien. Perawat yang bertanggung jawab bahwa obat
itu diberikan dan memastikan bahwa obat itu benar diminum.
Bila ada obat yang
diberikan kepada pasien, hal itu harus menjadi bagian integral dari rencana
keperawatan. Perawat yang paling tahu tentang kebutuhan dan respon pasien
terhadap pengobatan. Misalnya, pasien yang sukar menelan, muntah atau tidak
dapat minum obat tertentu (dalam bentuk kapsul). Faktor gangguan visual,
pendengaran, intelektual atau motorik, yang mungkin menyebabkan pasien sukar
makan obat, harus dipertimbangkan.
Rencana perawatan
harus mencangkup rencana pemberian obat, bergantung pada hasil pengkajian,
pengetahuan tentang kerja dan interaksi obat, efek samping, lama kerja, dan program
dokter.
Prinsip
Enam Benar
1.Benar Pasien
Sebelum obat
diberikan, identitas pasien harus diperiksa (papan identitas di tempat tidur,
gelang identitas) atau ditanyakan langsung kepada pasien atau keluarganya. Jika
pasien tidak sanggup berespon secara verbal, respon non verbal dapat dipakai,
misalnya pasien mengangguk. Jika pasien tidak sanggup mengidentifikasi diri
akibat gangguan mental atau kesadaran, harus dicari cara identifikasi yang lain
seperti menanyakan langsung kepada keluarganya. Bayi harus selalu
diidentifikasi dari gelang identitasnya.
2.Benar Obat
Obat memiliki nama
dagang dan nama generik. Setiap obat dengan nama dagang yang kita asing (baru
kita dengar namanya) harus diperiksa nama generiknya, bila perlu hubungi
apoteker untuk menanyakan nama generiknya atau kandungan obat. Sebelum memberi
obat kepada pasien, label pada botol atau kemasannya harus diperiksa tiga
kali. Pertama saat membaca permintaan obat dan botolnya diambil dari rak
obat, kedua label botol dibandingkan dengan obat yang diminta, ketiga saat
dikembalikan ke rak obat. Jika labelnya tidak terbaca, isinya tidak boleh
dipakai dan harus dikembalikan ke bagian farmasi. Jika pasien meragukan
obatnya, perawat harus memeriksanya lagi. Saat memberi obat perawat harus ingat
untuk apa obat itu diberikan. Ini membantu mengingat nama obat dan kerjanya.
3.Benar Dosis
Sebelum memberi obat,
perawat harus memeriksa dosisnya. Jika ragu, perawat harus berkonsultasi dengan
dokter yang menulis resep atau apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien. Jika
pasien meragukan dosisnya perawat harus memeriksanya lagi. Ada beberapa obat
baik ampul maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya.
Misalnya ondansentron 1 amp, dosisnya berapa ? Ini penting !! karena 1
amp ondansentron dosisnya ada 4 mg, ada juga 8 mg. ada antibiotik 1 vial
dosisnya 1 gr, ada juga 1 vial 500 mg. jadi Anda harus tetap hati-hati dan
teliti !
4.Benar Cara/Rute
Obat dapat diberikan
melalui sejumlah rute yang berbeda. Faktor yang menentukan pemberian rute
terbaik ditentukan oleh keadaan umum pasien, kecepatan respon yang diinginkan,
sifat kimiawi dan fisik obat, serta tempat kerja yang diinginkan. Obat dapat
diberikan peroral, sublingual, parenteral, topikal, rektal, inhalasi.
- Oral, adalah rute pemberian yang paling umum dan paling
banyak dipakai, karena ekonomis, paling nyaman dan aman. Obat dapat juga
diabsorpsi melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet
ISDN.
- Parenteral, kata ini berasal dari bahasa Yunani, para
berarti disamping, enteron berarti usus, jadi parenteral berarti
diluar usus, atau tidak melalui saluran cerna, yaitu melalui vena (perset
/ perinfus).
- Topikal, yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran
mukosa. Misalnya salep, losion, krim, spray, tetes mata.
- Rektal, obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema
atau supositoria yang akan mencair pada suhu badan. Pemberian rektal
dilakukan untuk memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp),
hemoroid (anusol), pasien yang tidak sadar / kejang (stesolid supp). Pemberian
obat perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat
dalam bentuk oral, namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam
bentuk supositoria.
- Inhalasi, yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan.
Saluran nafas memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas, dengan
demikian berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya,
misalnya salbotamol (ventolin), combivent, berotek untuk asma, atau dalam
keadaan darurat misalnya terapi oksigen.
5.Benar Waktu
Ini sangat penting,
khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung untuk mencapai atau
mempertahankan kadar darah yang memadai. Jika obat harus diminum sebelum makan,
untuk memperoleh kadar yang diperlukan, harus diberi satu jam sebelum makan.
Ingat dalam pemberian antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena
susu dapat mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap. Ada obat
yang harus diminum setelah makan, untuk menghindari iritasi yang berlebihan
pada lambung misalnya asam mefenamat.
6.Benar Dokumentasi
Setelah obat itu
diberikan, harus didokumentasikan, dosis, rute, waktu dan oleh siapa obat itu
diberikan. Bila pasien menolak meminum obatnya, atau obat itu tidak dapat
diminum, harus dicatat alasannya dan dilaporkan.
Jika pasien meragukan
obatnya, perawat harus memeriksanya lagi. Saat memberi obat perawat harus ingat
untuk apa obat itu diberikan. Ini membantu mengingat nama obat dan kerjanya.
3.Benar Dosis
Sebelum memberi obat,
perawat harus memeriksa dosisnya. Jika ragu, perawat harus berkonsultasi dengan
dokter yang menulis resep atau apoteker sebelum dilanjutkan ke pasien. Jika
pasien meragukan dosisnya perawat harus memeriksanya lagi. Ada beberapa obat
baik ampul maupun tablet memiliki dosis yang berbeda tiap ampul atau tabletnya.
Misalnya ondansentron 1 amp, dosisnya berapa ? Ini penting !! karena 1
amp ondansentron dosisnya ada 4 mg, ada juga 8 mg. ada antibiotik 1 vial
dosisnya 1 gr, ada juga 1 vial 500 mg. jadi Anda harus tetap hati-hati dan
teliti !
4.Benar Cara/Rute
Obat dapat diberikan
melalui sejumlah rute yang berbeda. Faktor yang menentukan pemberian rute
terbaik ditentukan oleh keadaan umum pasien, kecepatan respon yang diinginkan,
sifat kimiawi dan fisik obat, serta tempat kerja yang diinginkan. Obat dapat
diberikan peroral, sublingual, parenteral, topikal, rektal, inhalasi.
- Oral, adalah rute pemberian yang paling umum dan paling
banyak dipakai, karena ekonomis, paling nyaman dan aman. Obat dapat juga
diabsorpsi melalui rongga mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet
ISDN.
- Parenteral, kata ini berasal dari bahasa Yunani, para
berarti disamping, enteron berarti usus, jadi parenteral berarti
diluar usus, atau tidak melalui saluran cerna, yaitu melalui vena (perset
/ perinfus).
- Topikal, yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran
mukosa. Misalnya salep, losion, krim, spray, tetes mata.
- Rektal, obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema
atau supositoria yang akan mencair pada suhu badan. Pemberian rektal
dilakukan untuk memperoleh efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp),
hemoroid (anusol), pasien yang tidak sadar / kejang (stesolid supp). Pemberian
obat perektal memiliki efek yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat
dalam bentuk oral, namun sayangnya tidak semua obat disediakan dalam
bentuk supositoria.
- Inhalasi, yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan.
Saluran nafas memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas, dengan
demikian berguna untuk pemberian obat secara lokal pada salurannya,
misalnya salbotamol (ventolin), combivent, berotek untuk asma, atau dalam
keadaan darurat misalnya terapi oksigen.
5.Benar Waktu
Ini sangat penting,
khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung untuk mencapai atau
mempertahankan kadar darah yang memadai. Jika obat harus diminum sebelum makan,
untuk memperoleh kadar yang diperlukan, harus diberi satu jam sebelum makan.
Ingat dalam pemberian antibiotik yang tidak boleh diberikan bersama susu karena
susu dapat mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat diserap. Ada obat
yang harus diminum setelah makan, untuk menghindari iritasi yang berlebihan
pada lambung misalnya asam mefenamat.
6.Benar Dokumentasi
Setelah obat itu
diberikan, harus didokumentasikan, dosis, rute, waktu dan oleh siapa obat itu
diberikan. Bila pasien menolak meminum obatnya, atau obat itu tidak dapat
diminum, harus dicatat alasannya dan dilaporkan.
PENYALAHGUNAN
OBAT
Dalam hal penggunaan obat sehari-hari, terdapat
istilah penyalahgunaan obat (drug abuse) dan
penggunasalahan obat (drug misuse). Istilah
penyalahgunaan obat merujuk pada keadaan di mana obat digunakan secara
berlebihan tanpa tujuan medis atau indikasi tertentu. Sedangkan, istilah
pengguna-salahan obat adalah merujuk pada penggunaan obat secara tidak
tepat, yang biasanya disebabkan karena pengguna memang tidak tahu bagaimana
penggunaan obat yang benar. Pada tulisan ini hanya akan dikaji mengenai
penyalahgunaan obat (drug abuse)
saja.
Penyalahgunaan obat terjadi secara luas di
berbagai belahan dunia. Obat yang disalahgunakan bukan saja semacam cocain, atau heroin, namun juga obat-obat yang
biasa diresepkan. Penyalahgunaan obat ini terkait erat dengan masalah
toleransi, adiksi atau ketagihan, yang selanjutnya bisa berkembang menjadi
ketergantungan obat (drug dependence).
Pengguna umumnya sadar bahwa mereka melakukan kesalahan, namun mereka sudah
tidak dapat menghindarkan diri lagi.
Di Amerika, penyalahgunaan obat-obat yang
diresepkan meningkat cukup tajam dalam dua dekade terakhir, dan hanya sedikit
di bawah mariyuana, suatu senyawa yang paling banyak disalahgunakan di sana.
Data dari sebuah lembaga farmasi di sana menyatakan bahwa sedikitnya 50 juta
orang Amerika pernah menggunakan sedikitnya satu jenis obat psikotropika, dan 7
juta orang yang berusia di atas 12 tahun menggunakan obat-obat ini bukan untuk
tujuan medis. Hal ini diduga tidak akan berbeda jauh dengan di Indonesia, di
mana penyalahgunaan obat-obat psikotropika dan obat-obat lainnya meningkat
dengan tajam.
Obat-obat yang sering disalahgunakan
Ada tiga golongan obat yang paling sering disalah-gunakan, yaitu :
1.
Golongan analgesik opiat/narkotik, contohnya adalah codein, oxycodon, morfin
2.
Golongan depressan sistem saraf pusat untuk mengatasi kecemasan dan gangguan
tidur, contohnya barbiturat (luminal) dan golongan benzodiazepin
(diazepam/valium, klordiazepoksid, klonazepam, alprazolam, dll)
3.
Golongan stimulan sistem saraf pusat, contohnya dekstroamfetamin, amfetamin,
dll.
Obat-obat ini bekerja pada sistem saraf, dan umumnya menyebabkan
ketergantungan atau kecanduan.
Selain itu, ada pula golongan obat lain yang digunakan dengan memanfaatkan
efek sampingnya, bukan berdasarkan indikasi yang resmi dituliskan. Beberapa
contoh diantaranya adalah :
1.
Penggunaan misoprostol, suatu analog
prostaglandin untuk mencegah tukak peptik/gangguan lambung, sering dipakai
untuk menggugurkan kandungan karena bersifat memicu kontraksi rahim.
2.
Penggunaan Profilas (ketotifen), suatu anti histamin
yang diindikasikan untuk profilaksis asma, sering diresepkan untuk meningkatkan
nafsu makan anak-anak
3.
Penggunaan Somadryl untuk “obat kuat” bagi
wanita pekerja seks komersial untuk mendukung pekerjaannya. Obat ini berisi carisoprodol, suatu muscle relaxant, yang digunakan
untuk melemaskan ketegangan otot. Laporan menarik ini datang dari Denpasar dari
seorang sejawat. Menurut informasi, dokter kerap meresepkan Somadryl, dan yang
menebusnya di apotek adalah “germo”nya, dan ditujukan untuk para PSK agar lebih
kuat “bekerja”
Alasan penyalahgunaan obat
Ada tiga kemungkinan seorang memulai penyalahgunaan obat.
1.
Yang pertama,
seseorang awalnya memang sakit, misalnya nyeri kronis, kecemasan, insomnia,
dll, yang memang membutuhkan obat, dan mereka mendapatkan obat secara legal
dengan resep dokter. Namun selanjutnya, obat-obat tersebut menyebabkan toleransi, di mana pasien memerlukan
dosis yang semakin meningkat untuk mendapatkan efek yang sama. Merekapun
kemudian akan meningkatkan penggunaannya, mungkin tanpa berkonsultasi dengan
dokter. Selanjutnya, mereka akan mengalami gejala
putus obat jika pengobatan dihentikan, mereka akan menjadi
kecanduan atau ketergantungan terhadap obat tersebut, sehingga mereka berusaha
untuk memperoleh obat-obat tersebut dengan segala cara.
2.
Kemungkinan kedua,
seseorang memulai penyalahgunaan obat memang untuk tujuan rekreasional. Artinya, sejak awal
penggunaan obat memang tanpa tujuan medis yang jelas, hanya untuk memperoleh
efek-efek menyenangkan yang mungkin dapat diperoleh dari obat tersebut.
Kejadian ini umumnya erat kaitannya dengan penyalahgunaan substance yang lain, termasuk yang
bukan obat diresepkan, seperti kokain, heroin, ecstassy, alkohol, dll.
3.
Yang ketiga,
seseorang menyalahgunakan obat dengan memanfaatkan efek samping seperti yang
telah disebutkan di atas. Bisa jadi penggunanya sendiri tidak tahu, hanya mengikuti
saja apa yang diresepkan dokter. Obatnya bukan obat-obat yang dapat menyebabkan
toleransi dan ketagihan. Penggunaannya juga mungkin tidak dalam jangka waktu
lama yang menyebabkan ketergantungan.
Bagaimana terjadinya toleransi obat?
Pada orang-orang yang memulai penggunaan obat karena ada gangguan
medis/psikis sebelumnya, penyalahgunaan obat terutama untuk obat-obat
psikotropika, dapat berangkat dari terjadinya toleransi,
dan akhirnya ketergantungan.
Menurut konsep neurobiologi, istilah ketergantungan (dependence)
lebih mengacu kepada ketergantungan fisik, sedangkan untuk ketergantungan
secara psikis istilahnya adalah ketagihan (addiction). Pada bagian ini akan dipaparkan secara
singkat tentang toleransi obat.
Toleransi obat sendiri dapat dibedakan menjadi 3
jenis, yaitu : toleransi farmakokinetik, toleransi farmakodinamik, dan
toleransi yang dipelajari (learned tolerance).
Toleransi farmakokinetika adalah perubahan distribusi atau metabolisme suatu obat setelah
pemberian berulang, yang membuat dosis obat yang diberikan menghasilkan kadar
dalam darah yang semakin berkurang dibandingkan dengan dosis yang sama pada
pemberian pertama kali. Mekanisme yang paling umum adalah peningkatan kecepatan
metabolisme obat tersebut. Contohnya adalah obat golongan barbiturat. Ia
menstimulasi produksi enzim sitokrom P450 yang memetabolisir obat, sehingga
metabolisme/degradasinya sendiri ditingkatkan. Karenanya, seseorang akan
membutuhkan dosis obat yang semakin meningkat untuk mendapatkan kadar obat yang
sama dalam darah atau efek terapetik yang sama. Sebagai tambahan infromasi,
penggunaan barbiturate dengan obat lain juga akan meningkatkan metabolisme obat
lain yang digunakan bersama, sehingga membutuhkan dosis yang meningkat pula.
Toleransi farmakodinamika merujuk pada perubahan adaptif yang terjadi di dalam system tubuh
yang dipengaruhi oleh obat, sehingga respons tubuh terhadap obat berkurang pada
pemberian berulang. Hal ini misalnya terjadi pada penggunaan obat golongan
benzodiazepine, di mana reseptor obat dalam tubuh mengalami desensitisasi,
sehingga memerlukan dosis yang makin meningkat pada pemberian berulang untuk
mencapai efek terapetik yang sama.
Toleransi yang dipelajari (learned tolerance) artinya
pengurangan efek obat dengan mekanisme yang diperoleh karena adanya pengalaman
terakhir.
Kebutuhan dosis obat yang makin meningkat dapat menyebabkan
ketergantungan fisik, di mana tubuh telah beradaptasi dengan adanya obat, dan
akan menunjukkan gejala putus obat (withdrawal symptom)
jika penggunaan obat dihentikan. Ketergantungan obat tidak selalu berkaitan dengan
obat-obat psikotropika, namun dapat juga terjadi pada obat-obat
non-psikotropika, seperti obat-obat simpatomimetik dan golongan vasodilator
nitrat.
Di sisi lain, adiksi atau ketagihan obat ditandai dengan
adanya dorongan, keinginan untuk menggunakan obat walaupun tahu konsekuensi
negatifnya. Obat-obat yang bersifat adiktif umumnya menghasilkan perasaan euphoria yang kuat dan reward, yang membuat orang ingin
menggunakan dan menggunakan obat lagi. Adiksi obat lama kelamaan akan membawa
orang pada ketergantungan fisik juga.
Bagaimana mekanisme terjadinya adiksi ?
Untuk
menjelaskan tentang adiksi, perlu dipahami dulu istilah system reward pada manusia. Manusia,
umumnya akan suka mengulangi perilaku yang menghasilkan sesuatu yang
menyenangkan. Sesuatu yang menyebabkan rasa menyenangkan tadi dikatakan
memiliki efek reinforcement positif.
Reward bisa berasal secara alami, seperti makanan, air, sex, kasih sayang,
yang membuat orang merasakan senang ketika makan, minum, disayang, dll. Bisa
juga berasal dari obat-obatan. Pengaturan perasaan dan perilaku ini ada pada
jalur tertentu di otak, yang disebut reward pathway.
Perilaku-perilaku yang didorong oleh reward alami ini dibutuhkan oleh mahluk
hidup untuk survived (mempertahankan
kehidupan).
Bagian penting dari reward pathway adalah bagian otak yang disebut : ventral tegmental area (VTA), nucleus accumbens, dan prefrontal cortex. VTA terhubung dengan nucleus accumbens dan prefrontal cortex melalui jalur reward ini yang akan mengirim informasi melalui saraf. Saraf di VTA mengandung neurotransmitter dopamin, yang akan dilepaskan menuju nucleus accumbens dan prefrontal cortex. Jalur reward ini akan teraktivasi jika ada stimulus yang memicu pelepasan dopamin, yang kemudian akan bekerja pada system reward.
Obat-obat yang
dikenal menyebabkan adiksi/ketagihan seperti kokain,
misalnya, bekerja menghambat re-uptake dopamin, sedangkan amfetamin, bekerja meningkatkan
pelepasan dopamin dari saraf dan menghambat re-uptake-nya,
sehingga menyebabkan kadar dopamin meningkat.
Bagaimana mekanisme adiksi obat-obat golongan
opiat?
Reseptor opiat
terdapat sekitar reward pathway (VTA, nucleus accumbens dan cortex), dan juga
pada pain pathway (jalur nyeri) yang
meliputi thalamus, brainstem, dan spinal cord. Ketika
seseorang menggunakan obat-obat golongan opiat seperti morfin, heroin, kodein,
dll, maka obat akan mengikat reseptornya di jalur reward, dan juga jalur nyeri.
Pada jalur nyeri, obat-obat opiat akan memberikan efek analgesia, sedangkan
pada jalur reward akan memberikan reinforcement positif (rasa senang,
euphoria), yang menyebabkan orang
ingin menggunakan lagi. Hal ini karena ikatan obat opiat dengan reseptornya di nucleus accumbens akan menyebabkan
pelepasan dopamin yang terlibat dalam system reward.
Sebagai tambahan informasi, di bawah ini disajikan beberapa jenis
obat golongan benzodiazepin/barbiturat beserta dosis dan dosis
ketergantungannya.
Obat-obat psikotropika beserta dosis sedative dan dosis yang menyebabkan
ketergantungan
Nama
|
Dosis sedatif (mg)
|
Dosis ketergantungan dan
waktu
untuk menimbulkan
ketergantungan
|
Diazepam
|
5 – 10
|
40 – 100 mg x 42 – 120 hari
|
Klordiazepoksid
|
10 – 25
|
75 – 600 mg x 42 – 120 hari
|
Alprazolam
|
0,25 – 8
|
8 – 16 mg x 42 hari
|
Flunitrazepam
|
1 – 2
|
8 – 10 mg x 42 hari
|
Pentobarbital
|
100
|
800 – 2200 mg x 35 – 37 hari
|
Amobarbital
|
65 – 100
|
800 – 2200 mg x 35 – 37 hari
|
Meprobamat
|
400
|
1,6 – 3,2 g x 270 hari
|
Bagaimana farmakoterapinya?
Pengatasan penyalah-gunaan obat memerlukan upaya-upaya yang
terintegrasi, yang melibatkan pendekatan psikologis, sosial, hukum, dan medis.
Pada tulisan kali ini hanya akan dibahas mengenai farmakoterapi (terapi
menggunakan obat) bagi keadaan yang terkait dengan ketergantungan obat.
Kondisi yang perlu diatasi secara farmakoterapi pada keadaan
ketergantungan obat ada dua, yaitu kondisi intoksikasi
dan kejadian munculnya gejala putus obat
(“sakaw”). Dengan demikian, sasaran terapinya bervariasi tergantung tujuannya:
- Terapi pada intoksikasi/over dosis tujuannya untuk mengeliminasi obat dari tubuh, menjaga fungsi vital tubuh
- Terapi pada gejala putus obat tujuannya untuk mencegah perkembangan gejala supaya tidak semakin parah, sehingga pasien tetap nyaman dalam menjalani program penghentian obat
Tentunya masing-masing golongan obat memiliki
cara penanganan yang berbeda, sesuai dengan gejala klinis yang terjadi. Di
bawah ini disajikan tabel ringkasan terapi intoksikasi pada berbagai jenis obat
yang sering disalahgunakan.
Tabel 1. Ringkasan tentang terapi intoksikasi
Klas obat
|
Terapi obat
|
Terapi non-obat
|
Komentar
|
Benzodiazepin
|
Flumazenil 0,2 mg/min IV, ulangi
sampai max 3 mg
|
Support
fungsi vital
|
Kontraindikasi
jika ada penggunaan TCA resiko kejang
|
Alkohol,
barbiturat, sedatif hipnotik non-benzodiazepin
|
Tidak ada
|
Support fungsi vital
|
|
Opiat
|
Naloxone
0,4-2,0 mg IV setiap 3 min
|
Support
fungsi vital
|
Jika
pasien tidak responsif sampai dosis 10 mg mungkin ada OD selain opiat
|
Kokain dan stimulan CNS lain
|
Lorazepam 2-4
mg IM setiap 30 min sampai 6 jam jika perlu
Haloperidol
2-5 mg (atau antipsikotik lain) setiap 30 min sampai 6 jam
|
-Support
fungsi vital
-
Monitor fungsi jantung
|
- digunakan
jika pasien agitasi
- digunakan
jika pasien psikotik
- komplikasi
kardiovaskuler diatasi scr simptomatis
|
Halusinogen,
marijuana
|
Sama
dgn di atas
|
Support fungsi vital,
„talk-down therapy“
|
Tabel 2. Ringkasan tentang
terapi untuk mengatasi withdrawal syndrome (Dipiro, 2008)
Obat
|
Terapi obat
|
Komentar
|
Benzodiazepin
(short acting)
|
Klordiazepoksid 50 mg 3 x sehari
atau lorazepam 2 mg 3 x sehari, jaga dosis utk 5 hari, kmd tappering
|
|
Long acting BZD
|
Sama,
tapi tambah 5-7 hari utk tappering
|
Alprazolam
paling sulit dan butuh wkt lebih lama
|
Opiat
|
Methadon 20-80 mg p.o, taper dengan 5-10 mg sehari, atau
klonidin 2 g/kg tid x 7 hari, taper untuk 3
hari berikutnya
|
- jika metadon gagal metadon
maintanance program
- Klonidin
menyebabkan hipotensi pantau BP
|
Barbiturat
|
Test toleransi pentobarbital,
gunakan dosis pada batas atas test, turunkan dosis 100 mg setiap 2-3 hari
|
|
Mixed-substance
|
Lakukan spt pada long acting BZD
|
|
Stimulan CNS
|
Terapi supportif saja, bisa
gunakan bromokriptin 2,5 mg jika pasien benar-benar kecanduan, terutama pada
kokain
|
Dari mana seseorang mendapatkan
obat-obat untuk disalah gunakan?
Obat-obat tadi harus diperoleh dengan resep
dokter. Namun untuk penyalahgunaan ini, banyak cara yang bisa dilakukan orang
untuk memperoleh obat. Antara lain adalah :
- multiple doctor shopping maksudnya, ia pergi ke banyak dokter, sehingga mendapatkan banyak resep untuk mendapatkan obat yang dimaksud
- memalsukan resep, memalsukan angka untuk iterasi
- mencuri atau meminta paksa
- over prescribing by physicians dokter sendiri yang meresepkan dalam jumlah berlebihan
- pembelian melalui internet sekarang banyak online pharmacies, terutama di luar negeri
- penjualan langsung oleh dokter atau apoteker yang memang tidak mengindahkan moral dan etika profesi
·
Overdosis parasetamol dan mekanisme toksisitasnya
·
Overdosis parasetamol dapat terjadi pada penggunaan akut maupun
penggunaan berulang. Overdosis parasetamol akut dapat terjadi jika seseorang
mengkonsumsi parasetamol dalam dosis besar dalam waktu 8 jam atau kurang.
Kejadian toksik pada hati (hepatotoksisitas)
akan terjadi pada penggunaan 7,5-10 gram
dalam waktu 8 jam atau
kurang. Kematian bisa terjadi (mencapai 3-4% kasus) jika parasetamol digunakan
sampai 15 gram.
·
Pada dosis terapi (500-2 gram), 5-15% obat ini umunya dikonversi
oleh enzim sitokrom P450 di hati menjadi metabolit reaktifnya, yang disebut N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI).
Proses ini disebut aktivasi
metabolik, dan NAPQI berperan sebagai radikal bebas yang
memiliki lama hidup yang sangat singkat. Meskipun metabolisme parasetamol
melalui ginjal tidak begitu berperan, jalur aktivasi metabolik ini
terdapat pada ginjal dan penting secara toksikologi. Dalam keadaan normal,
NAPQI akan didetoksikasi secara cepat oleh enzim glutation dari hati. Glutation mengandung gugus sulfhidril yang akan mengikat
secara kovalen radikal bebas NAPQI, menghasilkan konjugat sistein. Sebagiannya
lagi akan diasetilasi menjadi konjugat
asam merkapturat, yang kemudian keduanya dapat diekskresikan
melalui urin.
·
Pada paparan parasetamol overdosis, jumlah dan kecepatan pembentukan
NAPQI melebih kapasitas hati dan ginjal untuk mengisi ulang cadangan glutation
yang diperlukan. NAPQI kemudian menyebabkan kerusakan intraseluler diikuti nekrosis (kematian sel) hati,
dan bisa juga menyebabkan kegagalan ginjal (walaupun lebih jarang kejadiannya).
Suatu studi populasi terhadap metabolisme parasetamol menunjukkan bahwa
proporsi populasi yang mengalami aktivasi metabolik bervariasi dari 2-20% pada
subyek ras kaukasian (orang kulit putih). Orang-orang yang mengalami kanker
hati dan hepatitis kronis B nampaknya memiliki kapasitas aktivasi metabolik
parasetamol yang relatif tinggi (abnormal tinggi). Orang-orang yang
demikian diduga memiliki ambang toksisitas parasetamol yang lebih rendah dan
mungkin juga lebih rentan terhadap karsinogen dari lingkungan.
·
Bagaimana pengatasannya?
·
Saat ini, pengatasan overdosis parasetamol yang cukup terbukti
ampuh adalah dengan penggunaan N-acetylcystein,
baik oral atau secara intravena. Antidot (antiracun) ini mencegah kerusakan
hepar akibat keracunan parasetamol dengan cara menggantikan glutation dan
dengan ketersediaannya sebagai prekursor. Rekomendasi regimen dosis untuk N-asetilcysteine secara per-oral
adalah dengan loading dose sebesar 140 mg/kg, diikuti dengan 70 mg/kg BB setiap 4 jam untuk 17 kali dosis,
dengan total durasi terapi adalah 72
jam.
ALERGI OBAT
BATASAN
Alergi obat adalah
respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya melalui reaksi
imunologi yang dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas yang terjadi selama
atau setelah pemakaian obat. Alergi obat masuk kedalam penggolongan reaksi
simpang obat (adverse drug reaction), yang meliputi toksisitas, efek
samping, idiosinkrasi, intoleransi dan alergi obat. Toksisitas obat adalah efek
obat berhubungan dengan kelebihan dosis obat. Efek samping obat adalah efek
obat selain khasiat utama yang timbul karena sifat farmakologi obat atau
interaksi dengan obat lain. Idiosinkrasi adalah reaksi obat yang timbul tidak
berhubungan dengan sifat farmakologi obat, terdapat dengan proporsi bervariasi
pada populasi dengan penyebab yang tidak diketahui. Intoleransi adalah reaksi
terhadap obat bukan karena sifat farmakologi, timbul karena proses non
imunologi. Sedangkan alergi obat adalah respon abnormal terhadap obat atau
metabolitnya melalui reaksi imunologi.
PATOFISIOLOGI
Alergi obat dapat
terjadi melalui semua 4 mekanisme hipersensitifitas Gell dan Coomb, yaitu :
1.
Reaksi
hipersensitivitas segera (tipe I), terjadi bila obat atau metabolitnya
berinteraksi membentuk antibodi IgE yang spesifik dan berikatan dengan sel mast
di jaringan atau sel basofil di sirkulasi.
2.
Reaksi
antibody sitotoksik (tipe II), melibatkan antibodi IgG dan IgM yang mengenali
antigen obal di membran sel. Dengan adanya komplemen serum, maka sel yang
dilapisi antibodiakan dibersihkan atau dihancurkan oleh sistem
monosit-makrofag.
3.
Reaksi
kompleks imun (tipe III), disebabkan oleh kompleks soluble dari obat atau
metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG.
4.
Reaksi
hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV)
adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik obat.
Bisa terjadi
alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu obat,namun yang
tersering melalui tipe I dan IV.
Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut waktu, tempat
dan jenis penelitian yang dilakukan. Pada umumnya laporan tentang obat
tersering penyebab alergi adalah golongan penisilin, sulfa, salisilat, dan
pirazolon. Obat lainnya yaitu asam mefenamat, luminal, fenotiazin, fenergan,
dilantin, tridion. Namun demikian yang paling sering dihubungkan dengan alergi
adalah penisilin dan sulfa. Alergi obat biasaya tidak terjadi pada paparan
pertama. Sensitisasi imunologik memerlukan paparan awal dan tenggang waktu
beberapa lama (masa laten) sebelum terjadi reaksi alergi.
Alergenisitas obat
tergantung dari berat molekul. Obat dengan berat molekul yang kecil tidak dapat
langsung merangsang sistem imun bila tidak bergabung dengan bahan lain untuk
bersifat sebagai allergen,disebut sebagaai hapten. Hapten dapat membentuk
ikatan kovalen dengan protein jaringan yang bersifat stabil, dan ikatan ini
akan tetap utuh selama diproses didalam makrofag dan dipresentasikan pada sel
limfosit. Sebagian kecil obat mempunyai berat molekul besar misalnya insulin,
antisera, ekstrak organ bersifat sangat imunogenik dapat langsung merangsang
sistem imun tubuh.
Ada obat dengan berat
molekul rendah yang imunogenik tanpa bergabung dengan protein lain.
Mekanismenya belum jelas, tetapi diduga obat ini membentuk polimer rantai
panjang. Setelah paparan awal maka obat akan merangsang pembentukan antibody
dan aktifasi sel imun dalam masa induksi (laten) yang dapat berlangsung 10-20
hari.
ALERGI OBAT
BATASAN
Alergi obat adalah
respon abnormal seseorang terhadap bahan obat atau metabolitnya melalui reaksi
imunologi yang dikenal sebagai reaksi hipersensitivitas yang terjadi selama
atau setelah pemakaian obat. Alergi obat masuk kedalam penggolongan reaksi
simpang obat (adverse drug reaction), yang meliputi toksisitas, efek
samping, idiosinkrasi, intoleransi dan alergi obat. Toksisitas obat adalah efek
obat berhubungan dengan kelebihan dosis obat. Efek samping obat adalah efek
obat selain khasiat utama yang timbul karena sifat farmakologi obat atau
interaksi dengan obat lain. Idiosinkrasi adalah reaksi obat yang timbul tidak
berhubungan dengan sifat farmakologi obat, terdapat dengan proporsi bervariasi
pada populasi dengan penyebab yang tidak diketahui. Intoleransi adalah reaksi
terhadap obat bukan karena sifat farmakologi, timbul karena proses non
imunologi. Sedangkan alergi obat adalah respon abnormal terhadap obat atau
metabolitnya melalui reaksi imunologi.
PATOFISIOLOGI
Alergi obat dapat
terjadi melalui semua 4 mekanisme hipersensitifitas Gell dan Coomb, yaitu :
1.
Reaksi
hipersensitivitas segera (tipe I), terjadi bila obat atau metabolitnya
berinteraksi membentuk antibodi IgE yang spesifik dan berikatan dengan sel mast
di jaringan atau sel basofil di sirkulasi.
2.
Reaksi
antibody sitotoksik (tipe II), melibatkan antibodi IgG dan IgM yang mengenali
antigen obal di membran sel. Dengan adanya komplemen serum, maka sel yang
dilapisi antibodiakan dibersihkan atau dihancurkan oleh sistem
monosit-makrofag.
3.
Reaksi
kompleks imun (tipe III), disebabkan oleh kompleks soluble dari obat atau
metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG.
4.
Reaksi
hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV)
adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik obat.
Bisa terjadi
alergi obat melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu obat,namun yang
tersering melalui tipe I dan IV.
Jenis obat penyebab alergi sangat bervariasi dan berbeda menurut waktu, tempat
dan jenis penelitian yang dilakukan. Pada umumnya laporan tentang obat
tersering penyebab alergi adalah golongan penisilin, sulfa, salisilat, dan
pirazolon. Obat lainnya yaitu asam mefenamat, luminal, fenotiazin, fenergan,
dilantin, tridion. Namun demikian yang paling sering dihubungkan dengan alergi
adalah penisilin dan sulfa. Alergi obat biasaya tidak terjadi pada paparan
pertama. Sensitisasi imunologik memerlukan paparan awal dan tenggang waktu
beberapa lama (masa laten) sebelum terjadi reaksi alergi.
Alergenisitas obat
tergantung dari berat molekul. Obat dengan berat molekul yang kecil tidak dapat
langsung merangsang sistem imun bila tidak bergabung dengan bahan lain untuk
bersifat sebagai allergen,disebut sebagaai hapten. Hapten dapat membentuk
ikatan kovalen dengan protein jaringan yang bersifat stabil, dan ikatan ini
akan tetap utuh selama diproses didalam makrofag dan dipresentasikan pada sel
limfosit. Sebagian kecil obat mempunyai berat molekul besar misalnya insulin,
antisera, ekstrak organ bersifat sangat imunogenik dapat langsung merangsang
sistem imun tubuh.
Ada obat dengan berat
molekul rendah yang imunogenik tanpa bergabung dengan protein lain.
Mekanismenya belum jelas, tetapi diduga obat ini membentuk polimer rantai
panjang. Setelah paparan awal maka obat akan merangsang pembentukan antibody
dan aktifasi sel imun dalam masa induksi (laten) yang dapat berlangsung 10-20
hari.
Tabel 2. : Kriteria Klinis Alergi Obat
|
|
1
|
The observed manifestation do not resemble the
pharmacological action of the drug
|
2
|
The reaction are generally similar to those which may,occur with other
Antigen.
|
3
|
An induction period commonly 7-10 days is required following initial
exposure to the drug
|
4
|
The reaction may be reproduced by cross reacting chemical structures.
|
5
|
The reaction may be reproduced by minute dose of the drug.
|
6
|
Blood and /or tissue eosinophilia may be present.
|
7
|
Discontinuation of the drug result in resolution of the reaction.
|
8
|
The reaction occurs in a minority of patients receiving the
drug.
|
Tabel 3. : Pola Reaksi Klinis dan Obat Tersangka
|
|
Exanthems :
Ampicillin, penicillin
Phenilbutazone
Sulphonamides
Phenitoin
Carbamazepine
Gold
Allopurinol
|
Lichenoid eruptions :
Anti maalarials
Beta blockers
Chlorpropamide
Gold
Methyl dopa
Penicillamine
Phenylbutazone
Sterptomycin.
|
Erythema multiforme and Steven
Johnson Syndrome:
Trimetrprim,Smx
Penicillin
Griseofulvin
Tetracyclines
NSADs
Gold
Anticonvulsant
|
|
Tokxicepidermal necrolysis
Allopurinol
Apirin
Penicillin
Phenytoin
Sulfasalazine
|
Acneform eruptions :
Cortcosteroids
Anabolic steroids
Androgens (in female)
Oral contraceptives
Iodides and bromides
Lithium
Isoniazid
|
Uji
Laboratorium :
Uji invivo.
Uji kulit
yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu determinan
antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan uji kulit harus bersifat non
iritatif untuk menghindari positif palsu. Uji ini manfaatnya sangat terbatas
karena baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui dan
tersedia untuk uji kulit. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi
terhadap makro molekul: insulin, antisera, ekstrak organ, sedang untuk mikromolekul
sejauh ini hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap penisilin saja.
Uji
provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat, tetapi merupakan prosedur
diagnostik terbatas karena mengandung resiko yang berbahaya yaitu terjadinya
anafilaksis sehingga hanya dianjurkan dilakukan ditempat yang memiliki
fasilitas dan tenaga yang memadai. Karena itu maka uji provokasi merupakan indikasi kontra untuk alergi obat
yang berat misalnya anafilaksis, sindroma Steven Johnson, dermatitis
eksfoliatif, kelainan hematology, eritema vesiko bulosa. Uji provokasi
dilakukan setelah eliminasi yang lamanya tergantung dari masa paruh setiap
obat.
Uji in
vitro.
Uji in
vitro untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian.
Pemeriksaan yang dilakukan antara lain IgG dan IgM spesifik, uji aglutinasi dan
lisis sel darah merah, RAST, uji pelepasan histamin,uji sensitisasi jaringan
(basofil/lerkosit serta esai sitokin dan reseptor sel), sedangkan pemeriksaan
rutin seperti IgE total dan spesifik, uji Coomb’s, uji komplemen dan lain-lain
bukanlah untuk konfirmasi alergi obat.
PENATALAKSANAAN
Dasar utama
penatalaksanaan alergi obat adalah penghentian obat yang dicurigai kemudian
mengatasi gejala klinis yang timbul.
Penghentian
obat
Kalau
mungkin semua obat dihentikan dulu,kecuali obat yang memang perlu dan tidak
dicurigai sebagai penyebab reaksi alergi atau menggantikan dengan obat lain.
Bila obat tersebut dianggap sangat penting dan tak dapat digantikan, dapat
terus diberikan atas persetujuan keluarga, dan dengan cara desensitisasi.
Pengobatan
Manifestasi
klinis ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan khusus. Untuk pruritus,
urtikaria atau edema angionerotik dapat diberikan antihistamin misalnya,
diphenhidramin, loratadin atau cetirizine dan kalau kelainan cukup luas
diberikan pula adrenalin subkutan dengan dosis 0,01 mg/kg/dosis maksimum
0,3 mg/dosis. Difenhidramin diberikan dengan dosis 0,5 mg/kg/dosis, 3
kali/24 jam. CTM diberikan dengan dosis 0,09 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam.
Setirizin, dosis
pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis, 1 kali/hari;
> 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari.
Loratadin, dosis
pemberian sesuai usia anak adalah : 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; >
6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.
Feksofenadin, dosis
pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun : 30 mg/hari, 2 kali/hari;
> 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4kali/hari.
Bila gejala klinis sangat berat misalnya dermatitois eksfoliatif, ekrosis
epidermal toksik, sindroma Steven Johnson, vaskulitis, kelainan paru, kelainan
hematologi harus diberikan kortikosteroid serta pengobatan suportif dengan
menjaga kebutuhan cairan dan elektrolit, tranfusi, antibiotik profilaksis dan
perawatan kulit sebagaimana pada luka bakar untuk kelainan-kelainan dermatitis
eksfoliatif, nekrosis epidermal toksik dan Sindroma Steven Johnson.
Prednison diberikan
sebagai dosis awal adalah 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal pagi hari sampai keadaan
stabil kira-kira 4 hari kemudian diturunkan sampai 0,5 mg/kg/hari, dibagi 3-4
kali/hari dalam 4-10 hari. Steroid parenteral yang digunakan adalah metil
prednisolon atau hidrokortison dengan dosis 4-10 mg/kg/dosis tiap
4-6 jam sampai kegawatan dilewati disusul rumatan prednison oral. Cairan dan
elektrolit dipenuhi dengan pemberian Dekstrosa 5% dalam 0,225% NaCl atau
Dekstrosa 5% dalam 0,45% NaCl dengan jumlah rumatan dan dehidrasi yang ada.
Perawatan
lokal segera dilakukan untuk mencegah perlekatan, parut atau kontraktur. Reaksi
anafilaksis harus mendapat penatalaksanaan adekwat secepatnya. Kortikosteroid
topikal diberikan untuk erupsi kulit dengan dasar reaksi tipe IV dengan
memperhatikan kaidah-kaidah yang telah ditentukan. Pemilihan sediaan dan
macam obat tergantung luasnya lesi dan tempat. Prinsip umum adalah : dimulai
dengan kortikosteroid potensi rendah. Krim mempunyai kelebihan lebih mudah
dioles, baik untuk lesi basah tetapi kurang melindungi kehilangan kelembaban
kulit. Salep lebih melindungi kehilangan kelembaban kulit, tetapi sering
menyebabkan gatal dan folikulitis. Sediaan semprotan digunakan pada
daerah kepala dan daerah berambut lain. Pada umumnya steroid topikal diberikan
setelah mandi, tidak diberikan lebih dari 2 kali sehari. Tidak boleh memakai
potensi medium sampai tinggi untuk daerah kulit yang tipis misalnya muka, leher,
ketiak dan selangkangan..
PROGNOSIS
Estimasi
saat ini menunjukkan angka kejadian alergi obat makin meningkat. Laporan dari
seluruh dunia menunjukkan angka 0,01% sampai 5% dan sekurang kurangnya 15%-30%
penderita yang dirawat di rumah sakit mengalami reaksi sedikitnya terhadap 1
macam obat dan 6-10% merupakan alergi obat.
Dengan
penatalaksanaan yang baik, prognosis alergi obat adalah baik bahkan untuk
alergi obat yang berat sekalipun. Dapat terjadi perlekatan kulit, kontraktur,
simblefaron, kebutaan bila tindakan tidak tepat dan terlambat dilakukan. Angka
kematian dilaporkan 1 dari 10.000 kejadian, pada sindroma Steven Johnson
kematian sebe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar